Generasi Z (Gen-Z) dilihat secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Media banyak menyoroti karakteristik generasi ini dengan harapan menemukan keunikan yang membedakannya dengan generasi lainnya.
Pemerintah mendeskripsikan Gen-Z tidak jauh dari problem dan kepentingan untuk mengisi pembangunan ke depan. Politisi melihatnya sebagai target kebijakan, voters potensial, terlebih menjelang tahun politik.
Gen-Z adalah kelompok generasi baru yang mengisi atau akan mengisi pasar kerja ke depan dan mempertaruhkan wacana bonus demografi serta cita-cita Indonesia emas yang sebenarnya banyak diaspirasikan oleh generasi sebelumnya.
Upaya untuk menyorot Gen-Z telah banyak dilakukan, termasuk profiling dalam konteks Indonesia, baik dalam riset-riset akademik, maupun snapshot laporan survey yang disampaikan secara lebih populer.
Namun, kecenderungan yang muncul memperlihatkan kesan homogenitas yang kuat terutama soal kelas sosial Gen-Z. Misalnya, survei Gen-Z di satu atau dua universitas yang berimplikasi pada basis atribut sosial yang relatif sama, yaitu mahasiswa. Atau interview Gen-Z yang gemar shopping di marketplace (e-commerce).
Ini adalah (mini)riset yang saya lakukan di akhir pekan. Dengan keinginan untuk mengetahui wacana tentang Gen-Z yang beredar, riset ini dilakukan dalam rangka pemetaan.
Apa saja topik tentang Gen-Z yang pernah diteliti?
Riset tentang Gen-Z
Sebelum melihat Gen-Z dalam konteks Indonesia, mari kita telusuri riset-riset akademik yang sudah pernah dilakukan.
Web of Science mengindeks beberapa daftar publikasi ilmiah yang berpengaruh di banyak bidang yang membahas Gen-Z. Saya membatasi pencarian saya hanya pada artikel yang berbahasa Inggris.
Untuk memberi batasan pada hasil publikasi yang relevan, saya fokus pada publikasi yang mencakup area riset ekonomi, bisnis, sosial dan budaya.
Proses pencarian menghasilkan sebanyak 214 artikel tentang Gen-Z yang diterbitkan sejak 2016 sampai 2023. Sebanyak 15 diantaranya membahas Gen-Z dalam konteks Indonesia.
Pastinya publikasi tentang Gen-Z yang berbahasa Indonesia cukup banyak dan sangat mudah dicari, misalnya via Google Scholar. Saya hanya fokus pada publikasi yang berbahasa Inggris disini dengan asumsi bahwa impact-nya menjangkau audiens global.
Untuk tujuan pemetaan, mari kita bandingkan isu apa saja yang menjadi perhatian para peneliti yang sudah meneliti tentang Gen-Z sebelumnya baik di Indonesia ataupun global.
Apresiasi untuk Hearst et al. (2020) yang mengembangkan teknik visualisasi semantik (wordcloud) dan secara konsisten mengevaluasinya. Saya gunakan teknik ini untuk membuat gambar di atas. Kita bisa membaca petanya hanya dengan mengidentifikasi posisi antar kata dan kesamaan warnanya.
Informasi apa yang bisa kita dapat dari gambar di atas? Pertama, tentu saja kemiripan dan perbedaan isu tentang Gen-Z di Indonesia dan global yang menjadi perhatian peneliti sejak 2016.
Beberapa persamaan yang menonjol adalah ‘student’ dan ‘learning’ yang memperlihatkan penelitian tentang Gen-Z lebih banyak meletakkan fokus analisisnya pada (maha)siswa dan pembelajaran. Bisa juga, student kebanyakan menjadi subjek riset mereka. Hal ini wajar karena peneliti terutama kalangan edukator dekat dengan generasi baru. Ini menghasilkan keingintahuan tentang orang-orang yang di depan mereka yaitu students yang saat ini mayoritas adalah Gen-Z baik di sekolah maupun universitas.
Perbedaan yang tampak diantaranya adalah perhatian yang cukup dominan secara global terhadap tema-tema terkait konsumsi. Di Indonesia, bukan konsumsinya, tetapi apa yang dikonsumsi (product) yang lebih dominan.
Sedikit mengelaborasi perhatian pada tema konsumsi di riset Gen-Z, terlihat bahwa dimensi nilai cukup melekat dengan intensi, attitude, dan perilaku Gen-Z dalam praktik konsumsi. Setidaknya, inilah yang menjadi perhatian para peneliti. Dengan menyebut nilai, saya merujuk pada beberapa istilah yang mengemuka di riset global seperti ‘sustainable’, ‘environmental’, ‘green’ yang berada dalam satu klaster yang sama.
Ini mengindikasikan kesatuan setidaknya dua tema besar (lingkungan dan konsumsi) ketika fenomena Gen-Z dikaji. Apakah Gen-Z adalah kelompok konsumen yang peduli dengan isu lingkungan? Ya, mereka mengadopsi nilai yang banyak diturunkan dari prinsip-prinsip green economy dalam pola perilaku konsumsi mereka.
Misalnya, riset Ng et al. (2019) di Malaysia menemukan nilai (value) sebagai salah satu aspek yang memotivasi perilaku konsumsi Gen-Z, selain desakan mereka untuk sering mempertanyakan apa gunanya produk yang ditawarkan sebelum membeli, dan apakah apa yang akan dibeli bisa memantik kesenangan (enjoyment). Sustainability, eco-friendly, bahkan peace adalah nilai yang telah menjadi faktor dikalangan anak muda, termasuk Gen-Z dalam kasus Malaysia.
Di Cina bahkan, produk yang diberi label ‘eco’ dalam packaging media lebih efektif membangun persepsi konsumen terhadap produk yang secara signifikan membentuk perilaku membeli Gen-Z (purchase behavior), seperti yang ditemukan oleh (Song, Qin, and Qin 2020).
Bagaimana dengan di Indonesia?
Tema yang berkembang tampaknya tersegmen. Kalaupun demikian, ini lebih disebabkan karena sedikitnya studi yang punya impact (terindeks Web of Science) yang diulas di blog ini. Tapi kita tetap bisa menemukan tema-tema yang menarik yang menunjukkan gambaran tentang perilaku konsumsi Gen-Z.
Misalnya istilah ‘digital’, ‘social’, ‘media’, yang berada dalam satu klaster merah, tampak menunjukkan aspek teknologi online yang lekat dengan Gen-Z. Di klaster ini berbagai isu berkembang. Sedikit contoh diantaranya, istilah ‘digital’ dan ‘banking’ di posisi berdekatan yang menunjukkan ada riset yang fokus membicarakan ini.
Salah satunya, Windasari et al. (2022) yang telah meneliti tentang perilaku Gen-Z (dan Gen-Y) dalam mengadopsi digital banking. Apa yang ditemukan memang dapat memantik diskusi lebih lanjut.
Apa yang membuat generasi muda mengadopsi bank digital, yang membentuk familiaritas mereka dengan pembayaran online? Salah satu yang perlu dicoret dari daftar variabel menurutnya adalah curiousity.
Mungkin karena mereka digital native, yang menormalisasi banyaknya opsi, sehingga rasa penasaran tidak lagi menjadi faktor pembentuk intensi mereka menggunakan bank digital.
Temuan serupa juga ditunjukkan oleh Lestari (2019) yang meneliti adopsi Gen-Z terhadap e-commerce. Istilah yang disebut yaitu self-efficacy menjadi salah satu faktor signifikan. Kepercayaan terhadap kapasitas yang dimiliki untuk membuat keputusan tentu didasari oleh beberapa kondisi. Banyaknya pilihan sebagai implikasi dari era informasi (mungkin juga disinformasi) menciptakan kondisi ini.
Saya kira, temuan semacam ini sebaiknya membuka peluang untuk upaya verifikasi lebih lanjut, ketimbang menjadi kesimpulan final. Setelah melihat sejenak apa yang dibicarakan di arena ilmiah, kita ingin mengetahui perkembangan terkini di arena yang lebih populer: internet.
Wacana populer di website bisa memberi gambaran apa yang ingin kita ketahui tentang Gen-Z. Untuk tujuan ini, saya mengidentifikasi narasi di web yang diproduksi oleh 23 situs yang membahas tentang ‘Gen-Z Indonesia’. Beberapa aktor terlihat memiliki konsen, sebagian bahkan mengembangkan project spesifik tentang itu. Situs yang saya teliti disini dikelola oleh beragam aktor, mulai dari pemerintah, media online, bisnis, dan NGO.
Yuk, kita simak petanya!
Tren isu Gen-Z Indonesia
Apa yang dibicarakan ketika kita membicarakan tentang Gen-Z di Indonesia? Tema apa yang menjadi perhatian?
Tema tentang ‘kerja’ ternyata menjadi salah satu yang paling menarik perhatian. Gen-Z banyak dibicarakan dalam persoalan dan peluang seputar isu kerja. Ini juga dapat direfleksikan sebagai isu dominan yang dihadapi oleh Gen-Z.
Ketika bicara isu kerja, apa yang menjadi perhatian? Tentu saja beragam, tidak melulu soal generasi yang sedang atau akan mendominasi pasar kerja, tetapi juga transisi Gen-Z itu sendiri ke dunia kerja. Sampai di sini, perlu dicatat terlebih dahulu pentingnya melihat ‘kerja’ dalam perspektif generasi dimana Gen-Z banyak digambarkan menaruh perhatian pada banyak gagasan dan aspirasi baru tentang ‘kerja’.
Misalnya, apa itu ‘work-life-balance’? apakah harus menabung untuk pensiun? benarkah kerja fleksibel itu beresiko? Siapa yang harus didengarkan ketika menghadapi ketidakpastian masa depan, orang tua atau teman?
Selanjutnya, mari kita lihat kaitan antara isu kerja dengan lainnya.
Di lingkaran isu kerja, ‘karakter’ dan ‘karakteristik’ tampak memiliki koneksi yang berdekatan. Ini mengindikasikan karakterisktik Gen-Z dalam bekerja atau di lingkup kerja yang dibaca memiliki keunikan. Atribut dari yang natural sampai stereotipikal bisa muncul di sini.
Sebagai contoh, sebagai anak muda yang berada dalam periode transisi, skill mempelajari lingkungan baru berperan signifikan untuk mempengaruhi penerimaan dirinya. Skill ini tidak selalu berupa strategi atau taktik untuk berkompromi dengan kultur yang memang sudah mapan, bisa juga berupa konfrontasi, misalnya kapan anak muda bisa menemukan momentumnya untuk melakukan konfrontasi.
Resign atau menginisiasi inovasi adalah bagian dari konfrontasi.
Isu kerja, meskipun tidak bisa mewakili wacana populer Gen-Z di Indonesia (hanya paling dominan saja), tetap merupakan salah satu tema yang layak diperhatikan.
Setelah kita melihat ‘luarannya’, mari kita lihat sedikit ke dalam dengan mengidentifikasi beberapa topik yang identik dengan karakteristiknya. Juga beberapa narasi yang menggambarkan tantangan psikologisnya.
Mengidentifikasi karakteristik Gen-Z
Saya mengadopsi teknik scaling teks yang disebut wordfish
yang dikenalkan oleh Slapin and Proksch (2008) untuk mengestimasi posisi istilah (yang berkaitan dengan karakteristik Gen-Z) dan efeknya dalam wacana Gen-Z. Teknik ini sebenarnya mengadopsi prinsip-prinsip poisson distribution dalam teori probabilitas.
Tidak perlu menyentuh teknisnya di sini, cukup untuk mengetahui seberapa ‘eksklusif’ karakteristik yang muncul menggambarkan Gen-Z.
Beberapa istilah yang berkaitan dengan karakteristik Gen-Z di-highlight warna hitam sebagai berikut:
Makin ke pinggir dan ke bawah, istilah tersebut makin eksklusif. Makin ke tengah dan ke atas, istilah tersebut makin inklusif. Di sini, inklusif maksudnya populer, banyak digunakan. Konsekuensinya, lebih banyak juga kemungkinan digunakan untuk labelling atau stereotyping.
Gambar di atas menunjukkan beberapa karakteristik Gen-Z. Namun sekali lagi, masih sangat rentan digunakan sebatas label yang dilekatkan untuk menggambarkan Gen-Z.
Misalnya, istilah ‘digital’ yang berada di posisi paling atas, menggambarkan bahwa Gen-Z adalah generasi yang melekat didirinya dengan atribut digital. Mulai dari ‘digital native’ sampai generasi yang menguasai era digital.
Terdapat risiko melabeli Gen-Z sebagai generasi yang paham teknologi digital. Secara demografis, tentu saja mereka digital native, tapi secara kultural, pengalaman mereka hidup dan bertumbuh dengan teknologi digital tidak otomatis menjamin mereka menguasai apa yang disyaratkan untuk survive atau sukses di era digital.
Gen-Z sebagai digital native yang hidup dengan teknologi digital tidak homogen. Mereka hidup dengan perbedaan peluang dan kemampuan untuk survive atau sukses di era digital.
Ketika kita bicara seorang ‘Gen-Z yang meraup miliaran dari bisnis e-commerce’ misalnya, apakah kita hanya akan bicara karena statusnya sebagai Gen-Z? Tentu saja (dan seharusnya) lebih banyak bicara tentang skill, kelas, relasi sosial, status, dan peluang baik kultural maupun struktural yang dihadapi si Gen-Z itu.
Dengan data ini, karakteristik Gen-Z yang ‘picky’ sedikit lebih spesifik dibanding lainnya. Setidaknya, inilah karakteristik yang paling eksklusif, yang patut diperhatikan oleh siapa saja. Picky bukan karena mereka selalu punya banyak opsi untuk memilih, tetapi menuntut adanya banyak pilihan yang tersedia.
Bagaimana dengan tantangan psikologis yang dihadapinya?
Mengidentifkasi posisi istilah-istilah berikut bisa jadi pintu masuk untuk mengetahui apa yang mereka hadapi atau alami.
Sekali lagi, ada kecenderungan stereotipikal yang dilekatkan, ada juga istilah yang lebih eksklusif dan serius untuk diperhatikan.
Gen-Z manja, suka tertekan (misalnya di tempat kerja atau melihat capaian orang lain), dan labil secara emosional bisa jadi gambaran umum yang banyak ditemui. Tapi karakteristik itu lebih potensial digambarkan secara stereotipikal. Dengan kata lain, impresi negatif generasi lain (milenials atau boomers) terhadap anak muda yang kebetulan Gen-Z, yang dibesar-besarkan.
Paling tidak, gambaran diatas mengonfirmasi pandangan saya ini. Tapi, saya tidak ingin mengambil posisi yang mengatakan bahwa seluruh stereotipe yang melekat pada Gen-Z tersebut salah, saya melihat, mungkin saja benar mereka manja, tertekan, labil, tetapi itu karena ada problem serius yang mengemuka yang diciptakan oleh orang-orang berpengaruh lintas generasi, yang menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘depresi’ dan ‘gangguan mental’.
Posisi ‘depresi’ yang muncul di pojok kanan bawah menunjukkan keseriusan isu tersebut, meskipun tidak populer. Mungkin, media dan pemerintah memperhatikan tetapi tidak terlalu tertarik dengan tema itu.
‘Gen-Z adalah masa depan kita’, ‘Gen-Z akan mendominasi pasar kerja’, ‘Gen-Z mendominasi suara anak muda’ dan seterusnya sampai menguasai headline. Wacana sebagai konsumen baru dan komoditas politik selalu membayangi problem serius yang masih mempengaruhi pengetahuan kita tentang keunikan generasi ini.
Saya pikir, memperhatikan isu yang menantang ini akan memberi kita semacam clue tentang karakteristik Gen-Z, termasuk diantaranya soal karakter yang sedang dan terus mereka bentuk, komitmen terhadap pilihan-pilihan yang ada (brand, figur politik, gaya hidup, identitas, dst), dan perspektifnya tentang konsep-konsep yang kita kira telah mapan seperti misalnya ‘kerja’.
risetdigital.com didesain untuk mengenalkan metode riset digital, dikelola oleh Sidiq Madya